Agama Islam identik dengan kata patriarkhisme. Hal tersebut dikarenakan adanya anggapan bahwa beberapa dalil yang mengharuskan perempuan untuk membatasi ‘dirinya’ dalam menjalani kehidupan. Patriarkhisme sendiri adalah semacam peradaban yang dibangun diatas pondasi kekuasaan laki-laki. Praktik ketidaksetaraan manusia bisa kita lihat sebagai bentuk budaya patriarkhisme. Lalu pertanyaannya, apakah memang benar bahwa Agama Islam adalah agama yang melanggenkan budaya patriarkhisme dalam ajarannya?
Beberapa waktu yang lalu, saya ikut dalam forum diskusi yang mengangkat pembahasan buku Bebas dari Patriarkhisme Islam karya Syafiq Hasyim. Dalam forum tersebut, saya sebagai seorang perempuan tentunya sangat tercerahkan dengaשמיכות צמר ורדינון barbie ház fából רצועה suunto טכניקה להעלת משקל בדחיקת חזה knoppar och handtag hm اسباب وجع الجنب للحامل camiceria turri prezzi console wii miglior prezzo amazon щангова пръскачка за малки опити youtube link to mp3 converter billie eilish merch bershka hoodie stainless steel charcoal bbq grill mission luidsprekers מייבש כביסה פיילוט pd85cgl kärring moppe n penyampaian materi yang sangat luar biasa. Dan dalam tulisan kali ini, saya akan memberikan sedikit hal yang saya dapatkan dalam forum tersebut.
Patriarkhisme bukan bagian dari Islam, lalu mengapa patriarkhisme memiliki tempat dalam agama Islam? Pertanyaan yang sedikit membingunkan, tetapi jika kita selami lebih dalam pertanyaan tersebut, tentunya kita bisa memahami makna pertanyaan itu. Salah satu jawaban dari pertanyaan yang di sampaikan oleh pemateri ialah; secara tekstual, Dalil Agama Islam sangat memungkinkan kita untuk menafsirkan dengan cara pandang patriarkhisme.
Budaya patriakhisme bisa kita lihat dari adanya pandangan bahwa dalam dimensi kepemimpinan harus dimiliki oleh laki-laki. Pernyataan ini lahir dari salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Sahabat Abi Bakarah R.A, bahwa “Ketika sampai kepada Nabi berita tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai ratu mereka, Nabi bersabda: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.( H.R Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya no 4425).
Secara tekstual, hadist Nabi ini berbunyi tentang penolakan terhadap kepemimpinan perempuan. Namun, secara kontekstual, sesuai dengan asbaab al-wuruudnya, hadist Nabi ini muncul ketika negara Persia dilanda pertikaian dan konflik antarelit politik yang luar biasa dan sulit dibendung. Akhirnya, negara Persia berada di ambang kehancuran. Pada saat itu, muncul seorang pemimpin perempuan yang memang tidak kapabel untuk mengurus dan menjalankan roda pemerintahan. Artinya, penolakan itu bukan didasarkan pada jenis kelamin, tetapi karena ia tidak memiliki kapabilitas dalam memimpin yang bisa jadi juga dimiliki oleh kaum laki-laki.
Konteks kepemimpinan tak hanya disinggung dalam Hadist Rasulullah, di dalam al- Qur’an juga terdapat ayat yang sering dijadikan rujukan bagi kaum laki-laki untuk memangku jabatan kepemimpinan. Ayat tersebut berbunyi ; Al-rijaalu qawwaamuna ‘ala al-nisaa bimaa fadhdhala Allah ba’dhuhun ‘alaa ba’dhinn. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.” (QS. Al-Nisaa/4:34).
Lagi-lagi, secara tekstual kita bisa memahami ayat ini bahwa kaum laki-laki memiliki sandaran aturan dalil untuk menjadi seorang pemimpin dalam segala aspek kehidupan di dunia. Padahal, secara kontekstual ayat ini menerangkan bahwa Allah memberikan kelebihan tidak serta merta hanya tertuju pada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan dalam hal menjadi seorang pemimpin. Jadi, ayat ini harus ditafsirkan lebih dalam agar kiranya ummat Islam tidak keliru dalam memahami konteks kepemimpinan dan bahwa Islam memberikan mandat atau jabatan kepada manusia tidak dilandasi dengan jenis kelamin.
Melarang seorang perempuan untuk menjadi pemimpin adalah salah satu contoh dari banyaknya budaya patriarkhisme yang masih tertanam di masyarakat, terutama masyarakat Islam yang memahami dalil Al-Qur’an wa Assunnah secara tekstual. Dari kisah bangsa Persia di atas, tentunya kita bisa memahami lebih jelas lagi bahwa seorang pemimpin tidak perlu dinilai dari jenis kelaminnya. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara untuk menjadi pemimpin.
Jika konteks kepemimpinan hanya untuk laki-laki tapi laki-laki tersebut tidak memiliki jiwa kepemimpinan, kapabilitas, serta kredibilitas yang mumpuni, maka apakah kaum yang dipimpin oleh laki-laki tersebut bisa berjalan dengan baik dan sejahtera? Tentu tidak bukan? Lalu bagaimana jika perempuan memiliki ketiga hal tersebut? Bagaiamana jika ada sosok perempuan yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi, kapabilitas, serta kredibilitas tinggi yang bisa mengantarkan kaumnya ke puncak kesejahteraan? Tentunya sosok pemimpin perempuan yang seperti itulah yang dibutuhkan oleh suatu kaum dibanding dengan laki-laki. Karena syarat utama menjadi pemimpin adalah kemampuan orang tersebut bukan jenis kelamin.
Syariat Islam tidak pernah membedakan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Banyak sekali dalil yang menyerukan tentang kesetaraan gender. Salah satu ayat di Al-Qur’an yang menegaskan hal tersebut berbunyi “Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah kamu dibumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Al-An’am ayat 165).
Kata khalifah menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah berarti pengganti Allah di bumi. Artinya, manusia diberikan mandat oleh Allah untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan di bumi. Sementara itu, penyebutan diksi khalifah, menurut Umar mencakup seluruh jenis manusia, laki-laki maupun perempuan. Dengan pengertian itu, keduanya adalah setara untuk mengemban tugas menyejahterakan bumi dan seisinya.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa antara patriarkhisme dan islam memang ada hubungannya. Akan tetapi, bukan agama Islam yang memberikan pengajaran ataupun aturan-aturan pembatasan perempuan dalam menjalani kehidupan. Yang menjunjung tinggi dan menghubungkan budaya patriarkhisme di dalam agama Islam adalah tafsiran yang dilakukan oleh oknum da’i yang tidak kompeten sehingga mempersetankan perempuan. Agama Islam sama sekali tidak memberlakukan yang namanya patriarkhisme, bahkan sebaliknya Agama Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kehormatan seorang perempuan dan menyetarakannya dengan kaum laki-laki.
Penulis: Nurhayati
Mahasiswa KIP Kuliah Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis.